Proyek dilakukan untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi warga eks Kampung Bukit Duri yang terkena dampak Program Normalisasi Kali Ciliwung tahun 2016. Awalnya, Ciliwung Merdeka sebagai komunitas pendamping warga eks Bukit Duri mengadvokasi pemerintah selama bertahun-tahun untuk segera membangun tempat tinggal untuk warga Kemudian, Yu Sing (Akanoma) diajak Ciliwung Merdeka untuk bersama mewujudkan proyek Kampung Susun Produktif Tumbuh (KSPT) Cakung. Pemprov DKI akhirnya melaksanakan pembangunan KSTP Cakung pada akhir tahun 2021.
Desain bermula dari proses identifikasi ruang dari kebutuhan pengembangan
ekonomi warga eks Bukit Duri yang mayoritas bekerja di bidang bisnis informal dan pemilik usaha kecil. Konsep desainnya meniru model kampung kota yang rumah-rumahnya berukuran kecil namun banyak memiliki ruang ekonomi. ‘Kampung Susun’ pun tercetus sebagai ide utama.
Kampung bersusun vertikal, walaupun tiap unit hunian berukuran kecil, namun masih punya ruang ekonomi. Selanjutnya kampung susun ini disebut ‘Kampung Susun Produktif’. Setiap unit hunian di semua lantai diberikan kesempatan penambahan ruang karena di dalamnya dibuat mezzanin. Warga kampung kota semakin memadat dengan ketidakmampuan memproduksi rumah tumbuh sehingga kampung susun untuk warga eks Bukit Duri ini akhirnya disebut ‘Kampung Susun Produktif Tumbuh’.
Bangunan KSPT Cakung didesain dengan sistem panggung dan bagian bawah bangunan difungsikan sebagai bak detensi untuk menampung air hujan sebagai sumber air bersih.
Unit hunian di semua lantai berukuran 36 m 2, didesain menjadi 2 fungsi yaitu: 21 m 2 untuk fungsi privat keluarga dan 15 m 2 untuk ruang usaha/kerja. Lalu ruang hunian ditinggikan agar dapat dibuat lantai mezzanin untuk tambah ruang. Unit hunian tersebut memiliki ketinggian antar lantai sekitar 3,96 m.
Koridor hunian pada kebanyakan hunian vertikal di Indonesia berupa koridor tengah yang kanan dan kirinya diapit hunian. Hal ini menyebabkan kurangnya pencahayaan dan ventilasi alami. Sementara hunian vertikal di Asia (Jepang dan Singapura), kebanyakan menggunakan koridor tepi.
Jika koridor tepi ini diterapkan dalam desain KSPT Cakung akan membuatnya seperti jalan kampung yang terbuka dan bisa melihat langit. Dengan desain tersebut, cahaya matahari masuk dari atrium taman tengah menerangi hingga koridor lantai bawah sehingga diharapkan warga bisa menanam tanaman/pohon dan tumbuh baik. Sebuah kemewahan yang tidak banyak bisa dimiliki apartemen komersil.
Secara visual, fasad bangunan KSPT Cakung mempunyai warna pastel yang beragam namun tidak saling bertabrakan. Hal tersebut sengaja dirancang sebagai penggambaran visual kampung kota yang beragam dan berwarna.
Penerapan konsep desain terinspirasi dari model kampung kota yang banyak
tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Penghuni KSPT Cakung awalnya tinggal di kawasan Bukit Duri yang terbiasa dengan ruang-ruang dan hunian berukuran kecil khas kampung kota dalam keseharian mereka. Kuatnya hubungan sosial bertetangga antar warga pun terjadi, sehingga konsep besar ‘kampung susun’ lebih sesuai dibandingkan dengan frase ‘rumah susun’.
KSPT Cakung didesain menggunakan sistem panggung dan di bawah bangunannya dijadikan bak detensi penampung air hujan. Kemudian air hujan yang disaring akan dipakai untuk keperluan air bersih warga. Dalam area kampung susun, dekat jalan kavling dibuat bioswale untuk area penyerapan genangan air hujan. Pencahayaan dan pengudaraan alami turut menjadi pertimbangan utama dalam desain koridor dan tentu saja pada tiap unit hunian, sehingga penghematan energi bisa dimaksimalkan.
Tantangan utama dalam proyek ini adalah meyakinkan Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman DKI Jakarta untuk membuat kampung susun ini sebagai pilot project, yang melebihi biaya konstruksi rumah susun standar. Kemudian sebagai solusi, beberapa sistem/elemen bangunan dikompromikan agar biaya konstruksi tidak terlalu tinggi.
6. Please add if there are things that are important and interesting message for readers to know about this project.
Mengenai perbedaan konsep ‘kampung susun’ dan ‘rumah susun’. Warga eks Bukit Duri yang mayoritas bekerja di bidang bisnis informal dan pemilik usaha kecil terbiasa dengan ruang-ruang dan hunian berukuran kecil khas kampung kota dalam keseharian mereka. Sehingga desain lingkungan hunian mereka sebaiknya yang bisa memberikan kesempatan untuk berjualan dan tidak menghilangkan mata pencaharian. Warga juga terbiasa berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan bertetangga dan melakukan berbagai aktivitas bersama. Warga kampung kota terbiasa membuka pintu rumah mereka untuk dikunjungi, sekedar mengobrol atau tinggal sejenak. Arsitek kemudian diharapkan untuk bisa menangkap sense of togetherness tersebut.
‘Kampung Susun’ bukan sekedar berfungsi sebagai fungsi rumah untuk tidur namun juga sebagai sebuah komunitas yang para penghuninya dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan saling berinteraksi satu sama lain ‘guyub’.
Perlu disadari bahwa manusia yang tinggal di kampung kota mempunyai karakter yang berbeda dari manusia yang tinggal di pinggiran kota.
Proyek dilakukan untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi warga eks Kampung Bukit Duri yang terkena dampak Program Normalisasi Kali Ciliwung tahun 2016. Awalnya, Ciliwung Merdeka sebagai komunitas pendamping warga eks Bukit Duri mengadvokasi pemerintah selama bertahun-tahun untuk segera membangun tempat tinggal untuk warga Kemudian, Yu Sing (Akanoma) diajak Ciliwung Merdeka untuk bersama mewujudkan proyek Kampung Susun Produktif Tumbuh (KSPT) Cakung. Pemprov DKI akhirnya melaksanakan pembangunan KSTP Cakung pada akhir tahun 2021.
Desain bermula dari proses identifikasi ruang dari kebutuhan pengembangan
ekonomi warga eks Bukit Duri yang mayoritas bekerja di bidang bisnis informal dan pemilik usaha kecil. Konsep desainnya meniru model kampung kota yang rumah-rumahnya berukuran kecil namun banyak memiliki ruang ekonomi. ‘Kampung Susun’ pun tercetus sebagai ide utama.
Kampung bersusun vertikal, walaupun tiap unit hunian berukuran kecil, namun masih punya ruang ekonomi. Selanjutnya kampung susun ini disebut ‘Kampung Susun Produktif’. Setiap unit hunian di semua lantai diberikan kesempatan penambahan ruang karena di dalamnya dibuat mezzanin. Warga kampung kota semakin memadat dengan ketidakmampuan memproduksi rumah tumbuh sehingga kampung susun untuk warga eks Bukit Duri ini akhirnya disebut ‘Kampung Susun Produktif Tumbuh’.
Bangunan KSPT Cakung didesain dengan sistem panggung dan bagian bawah bangunan difungsikan sebagai bak detensi untuk menampung air hujan sebagai sumber air bersih.
Unit hunian di semua lantai berukuran 36 m 2, didesain menjadi 2 fungsi yaitu: 21 m 2 untuk fungsi privat keluarga dan 15 m 2 untuk ruang usaha/kerja. Lalu ruang hunian ditinggikan agar dapat dibuat lantai mezzanin untuk tambah ruang. Unit hunian tersebut memiliki ketinggian antar lantai sekitar 3,96 m.
Koridor hunian pada kebanyakan hunian vertikal di Indonesia berupa koridor tengah yang kanan dan kirinya diapit hunian. Hal ini menyebabkan kurangnya pencahayaan dan ventilasi alami. Sementara hunian vertikal di Asia (Jepang dan Singapura), kebanyakan menggunakan koridor tepi.
Jika koridor tepi ini diterapkan dalam desain KSPT Cakung akan membuatnya seperti jalan kampung yang terbuka dan bisa melihat langit. Dengan desain tersebut, cahaya matahari masuk dari atrium taman tengah menerangi hingga koridor lantai bawah sehingga diharapkan warga bisa menanam tanaman/pohon dan tumbuh baik. Sebuah kemewahan yang tidak banyak bisa dimiliki apartemen komersil.
Secara visual, fasad bangunan KSPT Cakung mempunyai warna pastel yang beragam namun tidak saling bertabrakan. Hal tersebut sengaja dirancang sebagai penggambaran visual kampung kota yang beragam dan berwarna.
Penerapan konsep desain terinspirasi dari model kampung kota yang banyak
tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Penghuni KSPT Cakung awalnya tinggal di kawasan Bukit Duri yang terbiasa dengan ruang-ruang dan hunian berukuran kecil khas kampung kota dalam keseharian mereka. Kuatnya hubungan sosial bertetangga antar warga pun terjadi, sehingga konsep besar ‘kampung susun’ lebih sesuai dibandingkan dengan frase ‘rumah susun’.
KSPT Cakung didesain menggunakan sistem panggung dan di bawah bangunannya dijadikan bak detensi penampung air hujan. Kemudian air hujan yang disaring akan dipakai untuk keperluan air bersih warga. Dalam area kampung susun, dekat jalan kavling dibuat bioswale untuk area penyerapan genangan air hujan. Pencahayaan dan pengudaraan alami turut menjadi pertimbangan utama dalam desain koridor dan tentu saja pada tiap unit hunian, sehingga penghematan energi bisa dimaksimalkan.
Tantangan utama dalam proyek ini adalah meyakinkan Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman DKI Jakarta untuk membuat kampung susun ini sebagai pilot project, yang melebihi biaya konstruksi rumah susun standar. Kemudian sebagai solusi, beberapa sistem/elemen bangunan dikompromikan agar biaya konstruksi tidak terlalu tinggi.
6. Please add if there are things that are important and interesting message for readers to know about this project.
Mengenai perbedaan konsep ‘kampung susun’ dan ‘rumah susun’. Warga eks Bukit Duri yang mayoritas bekerja di bidang bisnis informal dan pemilik usaha kecil terbiasa dengan ruang-ruang dan hunian berukuran kecil khas kampung kota dalam keseharian mereka. Sehingga desain lingkungan hunian mereka sebaiknya yang bisa memberikan kesempatan untuk berjualan dan tidak menghilangkan mata pencaharian. Warga juga terbiasa berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan bertetangga dan melakukan berbagai aktivitas bersama. Warga kampung kota terbiasa membuka pintu rumah mereka untuk dikunjungi, sekedar mengobrol atau tinggal sejenak. Arsitek kemudian diharapkan untuk bisa menangkap sense of togetherness tersebut.
‘Kampung Susun’ bukan sekedar berfungsi sebagai fungsi rumah untuk tidur namun juga sebagai sebuah komunitas yang para penghuninya dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan saling berinteraksi satu sama lain ‘guyub’.
Perlu disadari bahwa manusia yang tinggal di kampung kota mempunyai karakter yang berbeda dari manusia yang tinggal di pinggiran kota.
Proyek dilakukan untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi warga eks Kampung Bukit Duri yang terkena dampak Program Normalisasi Kali Ciliwung tahun 2016. Awalnya, Ciliwung Merdeka sebagai komunitas pendamping warga eks Bukit Duri mengadvokasi pemerintah selama bertahun-tahun untuk segera membangun tempat tinggal untuk warga Kemudian, Yu Sing (Akanoma) diajak Ciliwung Merdeka untuk bersama mewujudkan proyek Kampung Susun Produktif Tumbuh (KSPT) Cakung. Pemprov DKI akhirnya melaksanakan pembangunan KSTP Cakung pada akhir tahun 2021.
Desain bermula dari proses identifikasi ruang dari kebutuhan pengembangan
ekonomi warga eks Bukit Duri yang mayoritas bekerja di bidang bisnis informal dan pemilik usaha kecil. Konsep desainnya meniru model kampung kota yang rumah-rumahnya berukuran kecil namun banyak memiliki ruang ekonomi. ‘Kampung Susun’ pun tercetus sebagai ide utama.
Kampung bersusun vertikal, walaupun tiap unit hunian berukuran kecil, namun masih punya ruang ekonomi. Selanjutnya kampung susun ini disebut ‘Kampung Susun Produktif’. Setiap unit hunian di semua lantai diberikan kesempatan penambahan ruang karena di dalamnya dibuat mezzanin. Warga kampung kota semakin memadat dengan ketidakmampuan memproduksi rumah tumbuh sehingga kampung susun untuk warga eks Bukit Duri ini akhirnya disebut ‘Kampung Susun Produktif Tumbuh’.
Bangunan KSPT Cakung didesain dengan sistem panggung dan bagian bawah bangunan difungsikan sebagai bak detensi untuk menampung air hujan sebagai sumber air bersih.
Unit hunian di semua lantai berukuran 36 m 2, didesain menjadi 2 fungsi yaitu: 21 m 2 untuk fungsi privat keluarga dan 15 m 2 untuk ruang usaha/kerja. Lalu ruang hunian ditinggikan agar dapat dibuat lantai mezzanin untuk tambah ruang. Unit hunian tersebut memiliki ketinggian antar lantai sekitar 3,96 m.
Koridor hunian pada kebanyakan hunian vertikal di Indonesia berupa koridor tengah yang kanan dan kirinya diapit hunian. Hal ini menyebabkan kurangnya pencahayaan dan ventilasi alami. Sementara hunian vertikal di Asia (Jepang dan Singapura), kebanyakan menggunakan koridor tepi.
Jika koridor tepi ini diterapkan dalam desain KSPT Cakung akan membuatnya seperti jalan kampung yang terbuka dan bisa melihat langit. Dengan desain tersebut, cahaya matahari masuk dari atrium taman tengah menerangi hingga koridor lantai bawah sehingga diharapkan warga bisa menanam tanaman/pohon dan tumbuh baik. Sebuah kemewahan yang tidak banyak bisa dimiliki apartemen komersil.
Secara visual, fasad bangunan KSPT Cakung mempunyai warna pastel yang beragam namun tidak saling bertabrakan. Hal tersebut sengaja dirancang sebagai penggambaran visual kampung kota yang beragam dan berwarna.
Penerapan konsep desain terinspirasi dari model kampung kota yang banyak
tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Penghuni KSPT Cakung awalnya tinggal di kawasan Bukit Duri yang terbiasa dengan ruang-ruang dan hunian berukuran kecil khas kampung kota dalam keseharian mereka. Kuatnya hubungan sosial bertetangga antar warga pun terjadi, sehingga konsep besar ‘kampung susun’ lebih sesuai dibandingkan dengan frase ‘rumah susun’.
KSPT Cakung didesain menggunakan sistem panggung dan di bawah bangunannya dijadikan bak detensi penampung air hujan. Kemudian air hujan yang disaring akan dipakai untuk keperluan air bersih warga. Dalam area kampung susun, dekat jalan kavling dibuat bioswale untuk area penyerapan genangan air hujan. Pencahayaan dan pengudaraan alami turut menjadi pertimbangan utama dalam desain koridor dan tentu saja pada tiap unit hunian, sehingga penghematan energi bisa dimaksimalkan.
Tantangan utama dalam proyek ini adalah meyakinkan Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman DKI Jakarta untuk membuat kampung susun ini sebagai pilot project, yang melebihi biaya konstruksi rumah susun standar. Kemudian sebagai solusi, beberapa sistem/elemen bangunan dikompromikan agar biaya konstruksi tidak terlalu tinggi.
6. Please add if there are things that are important and interesting message for readers to know about this project.
Mengenai perbedaan konsep ‘kampung susun’ dan ‘rumah susun’. Warga eks Bukit Duri yang mayoritas bekerja di bidang bisnis informal dan pemilik usaha kecil terbiasa dengan ruang-ruang dan hunian berukuran kecil khas kampung kota dalam keseharian mereka. Sehingga desain lingkungan hunian mereka sebaiknya yang bisa memberikan kesempatan untuk berjualan dan tidak menghilangkan mata pencaharian. Warga juga terbiasa berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan bertetangga dan melakukan berbagai aktivitas bersama. Warga kampung kota terbiasa membuka pintu rumah mereka untuk dikunjungi, sekedar mengobrol atau tinggal sejenak. Arsitek kemudian diharapkan untuk bisa menangkap sense of togetherness tersebut.
‘Kampung Susun’ bukan sekedar berfungsi sebagai fungsi rumah untuk tidur namun juga sebagai sebuah komunitas yang para penghuninya dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan saling berinteraksi satu sama lain ‘guyub’.
Perlu disadari bahwa manusia yang tinggal di kampung kota mempunyai karakter yang berbeda dari manusia yang tinggal di pinggiran kota.