my
Select Country
Search Icon
close icon
ARCHIFYNOW > HIGHLIGHTS > Tradisi Jadul atau Gaul

Tradisi, Jadul atau Gaul?

BY
fb icon
wa icon
email icon

Artikel oleh Anneke Prasyanti

Di bumi nusantara, desain arsitektur yang tumbuh dan berkembang adalah asimilasi dari hasil adaptasi terhadap alam dan beberapa budaya imigran. Dianggap sebagai kearifan lokal dalam bentuk bangunan, para ahli menerjemahkannya sebagai hunian yang sesuai konteks, baik cuaca, lokasi, maupun sequence aktivitas kehidupan.

Bukan hanya menerapkan konsep arsitektur tropis, bangunan yang dibangun dengan kearifan lokal cenderung ramah lingkungan karena sedikitnya penggunaan material industri yang meninggalkan carbon footprint yang tinggi.

Di sisi lain, arsitektur sebagaimana diajarkan di bangku kuliah lebih sering berisi ilmu bangsa asing yang dulu sempat menjajah kita. Memang tidak bisa dipungkiri, kita tidak bisa terlepas dari skema pendidikan tersebut karena pasti ada ilmu yang berguna dan bisa terus dikembangkan.

Yang seharusnya disadari, bangsa kita yang besar ini sudah memiliki wawasan arsitektur dari pola hidup dan budayanya. Lihat saja ruang yang tercipta oleh tradisi dan kebutuhan, juga ruang-ruang publik yang diadakan karena adanya fungsi-fungsi yang diwadahi. Namun, tradisi sering dianggap tidak menarik, kuno, tidak kekinian. Benarkah?

Di Indonesia, kita bisa melihat tidak sedikit kota masa kini yang adalah pengembangan desa di era yang lalu. Desa yang masih ada saat ini tentu merupakan saksi proses pemekaran pembangunan. Di desa pula, masih tersuguhkan arsitektur nusantara yang penuh pesona, penuh kedalaman filosofi dan bahkan ilmu struktur.

Apakah tidak seharusnya ilmu arsitektur di Indonesia masa kini adalah merupakan pengembangan dan pemekaran dari ilmu arsitektur nusantara yang dikawinkan dengan ilmu arsitektur bangsa pendatang?

Bayangkan betapa arsitektur di Indonesia bisa menjadi kemolekan absolut. Ibarat wanita, memiliki kecantikan lokal yang dilengkapi dengan kecerdasan internasional: mumpuni, beridentitas, mampu bersaing. Namun apa yang sedang terjadi saat ini? Arsitektur yang berkembang di sini adalah semacam anak-anak yang tercerabut dari akarnya, lupa, dan terhilang. Lebih banyak meniru daripada memahami asal.

Sedikit kisah yang hendak saya bagikan adalah dari sebuah desa adat kuno di Lombok Utara. Desa Bayan. Letaknya yang dekat dengan Gunung Rinjani sering menjadi titik awal pendakian ke Danau Segara Anak di gunung tersebut. Desa yang berusia lebih 300 tahun ini adalah sedikit dari wilayah di Indonesia yang mampu bertahan dari gempuran pembaharuan yang mengatasnamakan pembangunan.

Tradisi, Jadul atau Gaul?

Foto udara Desan Bayan yang menghadap Laut Bali ©Shutterstock

Terdiri dari sebuah kompleks pemukiman dengan kapasitas yang tetap, Desa Adat Bayan sangat menarik untuk dicermati. Kawasan hunian ada di perimeter luar kawasan sakral Masjid kuno Bayan Beleq. Jika ada penambahan keluarga karena pernikahan, penambahan hunian dibangun di luar batas hunian sakral.

Masjid Bayan Beleq

Masjid ini amat menarik secara arsitektur dan struktural. Selain penggunaan material lokal seperti batu, bambu, dan ijuk, sistem konstruksi bangunan ini hanya menggunakan sistem pasak pada bambu dan kayunya. Pondasinya tersusun dari batu alam. Entah perekat apa yang digunakan, jika susunan seperti itu tidak retak sedikit pun dalam goncangan gempa hampir 10 Skala Richter. Pasak bambu sebagai struktur penguat dinding disandingkan di atas perkerasan lantai tanpa ada perekat apa pun. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu.

Tradisi, Jadul atau Gaul?

Detail pondasi dan dinding anyaman bambu Masjid Bayan Beleq ©Anneke Prasyanti

Masjid ini adalah masjid sakral—artinya tidak setiap orang boleh masuk ke sana. Selain itu, waktu yang diizinkan, kalau pun bisa masuk, hanya seminggu sekali.

Pada keadaan gempa 9.8 Skala Richter di Bulan Juli 2019, Masjid ini, dan bangunan adat lainnya,  tidak mengalami kerusakan sedikit pun, sementara, kantong-kantong pemukiman lain—yang dibangun dengan material (yang konon) penuh kekuatan—hancur menjadi puing.

Dari fakta tersebut, terbukti, kearifan lokal telah menerjemahkan kebutuhan fungsi, bukan hanya dengan visualisasi yang cantik, namun juga dengan kekuatan yang mampu berkolaborasi dengan kekuatan alam yang maha dahsyat. Maka, lebih logis untuk arsitek bekerja sama dengan alam, bukan melawan alam.

Tradisi, Jadul atau Gaul?

Detail atap Masjid Bayan Beleq ©Anneke Prasyanti

Perlu dicermati, tanpa ilmu arsitektur dari Eropa, siapa pun pembangun kawasan ini memiliki ilmu arsitektur yang tinggi, mulai dari penempatan tempat ibadah, ruang publik, pemukiman, hingga detail struktur yang bukan saja indah namun kuat.

Tidak bisa dihindari, salah satu realitas di periode modern era ini adalah pekerjaan kebersamaan penghuni dan pemilik rumah dan kawasan diambil alih pemerintah dan pengembang. Kearifan lokal diabaikan dan keberlanjutan dilupakan. Konsep jadi-jadian diciptakan entah dari gabungan beberapa gimmick penjualan yang semakin menjauhi akar budaya, serta menjauhi konsep estetika dan arsitektur tropis yang mengusung keberlanjutan yang sesungguhnya. Dan yang paling penting justru melupakan bahwa Indonesia ada di area cincin api, lempeng gempa dan potensi tsunami.

Gempa adalah fenomena yang menjadikan Eropa berbeda dari Indonesia. Di Eropa, tuntutan untuk siaga terhadap gempa minim. Bukan itu ilmu yang tumbuh dan berkembang di sana. Struktur geologi Indonesia lebih mirip Jepang. Tapi apakah pernah terpikirkan bagi para pengembang, pemerintah dan pengambil kebijakan untuk harus menggeser kiblat dan benchmark ke area yang setidaknya lebih mirip dan begitu mumpuni menangani masalah bencana? Karena di Jepang, selain dijadikan studi di kampus, gempa juga diteliti terus-menerus dengan biaya negara.

Tradisi, Jadul atau Gaul?

Sketsa detail pondasi dan dinding Masjid Bayan Beleq ©Anneke Prasyanti

Keseruan-keseruan dalam berarsitektur di Indonesia belum bisa terangkat jika tradisi dan arsitektur nusantara belum menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Arsitektur nusantara belum menjadi materi wajib di kampus jurusan arsitektur. Arsitektur tropis, hemat energi, tahan gempa, tidak bocor ketika hujan, adalah sedikit dari kekuatan arsitektur nusantara. Ilmu bertahan bersama alam, adalah ilmu yang masih harus digali, dipelajari, dan tentunya diteruskan untuk generasi penerus pembangunan di negara ini.

Bayan memiliki identitas, memiliki jati diri. 

Bisakah setiap daerah dan wilayah tumbuh dan muncul dengan potensi kearifan lokalnya, dan memiliki jati diri sendiri? Kapankah arsitektur nusantara menjadi identitas kebanggaan bangsa yang ilmunya dikuasai arsitek-arsitek masa kini?

Tentang Penulis
Anneke Prasyanti adalah arsitek Indonesia yang giat dalam pelestarian bangunan-bangunan bersejarah di Indonesia. Beliau terlibat dalam beberapa proyek revitalisasi dan konservasi seperti Gelora Bung Karno, Museum Fatahillah, Gedung OLVEH, dan lain sebagainya.  Arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung ini juga tergabung sebagai Tenaga Ahli untuk Kementerian Pariwisata di bidang Arsitektur dan terlibat dalam Satuan Tugas Percepatan Pembangunan Homestay. Sampai saat ini, Anneke aktif menjadi pembicara dalam berbagai seminar, talkhsow, dan kuliah tamu bertema arsitektur heritage maupun nusantara.


fb icon
wa icon
email icon
Archifynow
blog platform
ArchifyNow is an online design media that focuses on bringing quality updates of architecture and interior design in Indonesia and Asia Pacific. ArchifyNow curates worthwhile design stories that is expected to enrich the practice of design professionals while introducing applicable design tips and ideas to the public.
More from archifynow
close icon